Selamat Datang di Blog Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) Provinsi Sumatera Selatan, Mari kita Berkolaborasi Menuju Kota Layak Huni dan Berkelanjutan ** Redaksi Blog Program KOTAKU Provinsi Sumatera Selatan:OC-02 Provinsi Sumatera Selatan : Jl.Bandar Agung No.1005 RT.13 RW.04 Kelurahan 20 Ilir/Sekip Bendung Kota Palembang 30127 Provinsi Sumatera Selatan Telp/fax: 0711-365385 email: oc2.sumsel@gmail.com

Kamis, 17 Desember 2015

Menagih Corporate Social Responsibility (CSR) Cara Legal Memaksa Perusahaan Untuk Bermitra

P2KKP OKI - Kondisi masyarakat kekinian/kontemporer terdapat peningkatan minat pada gagasan-gagasan modal sosial dan masyarakat madani atau masyarakat sipil (sivil society). Gagasan modal sosial adalah bahwa seseorang dapat melakukan investasi sosial sebagaimana secara ekonomis dan infrastruktur, dan modal ekonomis dari suatu masyarakat dapat bertambah, jika ini terjadi atas biaya modal sosial maka hal tersebut adalah semu. Modal sosial dapat dilihat sebagai “perekat” yang menyatukan masyarakat yang heterogen dan terdistorsi akibat adanya kepentingan terutama konflik kepentingan dan kekuatan hegemonik. Untuk itu diperlukan upaya agar dapat menyatukan masyarakat, hubungan atau relasi antar manusia tanpa adanya sekat antara potensi konflik SARA, orang melakukan apa yang dilakukannya terhadap sesamanya karena adanya kewajiban sosial dan timbal balik, solidaritas sosial dan komunitas.

Sejalan dengan pergantian solidaritas masyarakat dan sosial oleh capaian individual sebagai prioritas yang dipahami bagi tindakan manusia. Diperlukan upaya bersama untuk membalikkan kecenderungan ini, untuk merubah dan mencegah erosi modal sosial lebih jauh lagi dari moniter, investasi dalam program-program yang bertujuan untuk membangun modal sosial di seluruh masyarakat luas termasuk program peningkatan kualitas kawasan permukiman (P2KKP).


Bagian dari membangun modal sosial adalah memperkuat mayarakat termasuk melalui pelatihan-pelatihan dan pertemuan. Masyarakat madani merupakan tingkatan puncak dari derajat keintiman relasi sosial setelah masyarakat mandiri. Kondisi dari stratifikasi peran masyarakat tersebut digunakan untuk struktur-struktur formal atau semiformal yang dibentuk masyarakat secara sukarela yang dalam Program Peningkatan Kualitas Kawasan Permukiman (P2KKP) terdapat LKM, Unit Pengelolah dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan insentif mereka sendiri bukan bagian dari konsekuensi dari program atau arahan tertentu dari pemerintah. Lembaga Keswadayaan Masyarakat dan Unit-Unitnya termasuk KSM dibentuk untuk membantu pemerintah dalam mengurai kue pembangunan agar lebih berkeadilan dalam perspektif masyarakat, karena arena keluasannya disusun dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri dengan berpedoman pada PJM Pronangkis dan data yang didapat memalui penyusunan profil kumuh (model pembangunan Buttom- UP).

Menurut Robert Putnam (1993), Kinerja ekonomi dari masyarakat pada komunitas tertentu seperti Unit Pengelolah Keuangan (UPK) berkorelasi secara langsung dengan kegiatan masyarakat. Karena masyarakat itu sendiri tidak hanya harus mengintensifkan modal sosial tetapi juga memperkual kinerja ekonomi dan memaksimalkan asset yang ada. 

Munculnya ketidakpercayaan ini harus diatasi dengan memaksimalkan peran masing-masing dari masyarakat majemuk untuk ikut andil dalam proses pembangunan masyarakat terutma mengentaskan kemiskinan dan kekumuham merupakan implikasi logis akibat mulai lunturnya modal sosial dalam masyarakat secara kekinian. 

Untuk itu, interaksi dan komunikasi masyarakat agar mempunyai kepedulian dan perubahan perilaku agar lebih peka terhadap kondisi masyarakat sekitar karena itu ruh dan esensi dari proses pemberdayaan yang tidak hanya untuk membangun infrastruktur fisik lingkungan, penguatan ekonomi juga lebih dari itu yakni menumbuhkan kepedulian dari yang berkemampuan untuk yang termarjinalkan. 

Perubahan perilaku itu tidak bisa dibentuk dalam sesaat tetapi harus simultan dan butuh sinergisitas yang komprehensip bagi setiap lapisan masyarakat mulai dari aparat kelurahan/desa, LKM, para UP sampai pada tataran masyarakat sipil. Untuk melakukan pembangunan tidak akan berhasil secara baik dan maksimal jika hanya dilakukan hanya sebagian pihak namun harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan stakeholders.

Menurut teori pelayanan publik, bahwa yang bertanggung jawab melakukan pembangunan dan melayani masyarakat itu meliputi pihak masyarakat itu sendiri melalui bentuk kemandirian, pemerintah dengan anggaran dan kebijakan yang ada, dan pihak swasta seperti dunia usaha dan industri. Hal ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otoda) yang membuka ruang untuk pemerintah daerah mengelolah daerahnya sendiri dan pemerintah pusat hanya memberikan dukungan. Dengan demikian, proses pembangunan tidak hanya menunggu dana dari pusat (APBN) tetapi juga bisa dengan dana APBD bahkan dana lain yang legal seperti Corporate Social Responsibility (CSR).

Dasar hukum CSR terdapat pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal pasal 15 huruf B menyatakan tanggung jawab perusahaan dengan masyarakat sekitar berkaitan dengan keharusan untuk menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian apabila perusahaan setempat menyebabkan gangguan baik lingkungan maupun sosial bagi masyarakat setempat maka mereka wajib melakukan dukungan penuh bagi kemajuan penduduk setempat dengan membantu pembangunan fasilitas publik, baik pembangunan jalan, fasilitas air bersih dan kebutuhan vital setempat.
 
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 perseroan terbatas, Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan komitmen perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat umum. Dalam P2KP dikenal ekonomi bergulir dan PPMK yang membina ekonomi produktif, maka menindaklanjuti dasar konstitusi di atas maka perusahaan atau BUMN bisa dimintai dana untuk membantu masyarakat mengembangkan usaha atau dengan kata lain ada peluang kemitraan asal masyarakat mau dan saling bersinergi.

Lebih lanjut, pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 2 mengharuskan BUMN untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha lemah. Kemudian pada Pasal 88 ayat 1 bahwa BUMN wajib menyisihkan laba bersih untuk melakukan pembinaan masyarakat ekonomi lemah  yang ada di sekitar untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian, BUMN harusnya sudah mempunyai pos anggaran dengan dana yang dialokasikan untuk tanggung jawab mereka dari keuntungan perusahaan. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk mengatakan kurang dana atau tidak ada dana CSR. 

Melihat kondisi ini yang membuat LKM Mekar Sari di bawah koordinator Bpk. Sanusi melakukan perbincangan di Rumahnya yang dihadiri Aparat Desa yang difasilitasi oleh Tim Faskel pada tanggal 9 November 2015 untuk membedah kemungkinan melakukan kemitraan dengan persahaan atau dunia usaha sekitar. Langka awal adalah sosialisasi tentang aturan dan dasar konstitusi bahwa notabene perusahaan berkewajiban membantu proses pembangunan masyarakat sekitar perusahaannya dengan dana tanggung jawab sosial (baca: CSR). Setelah itu dapat dilakukan pemetaan kebutuhan masyarakat yang bisa menggunakan data profil permukiman yang telah disusun dan kemudian melakukan inventarisasi perusahaan mana yang relevan untuk dilakukan audiensi. Hal ini cukup berat karena masih dianggap sedikit asing oleh LKM, namun jika dilakukan secara baik dan terencana maka hal itu dapat terlaksana diawali dengan menumbuhkan kepedulian sesama dan modal sosial sebagai dasar kekuatan bersama untuk melakukan gerakan sosial dan menciptakan LKM mandiri yang kritis dan sadar hak-haknya yang dijamin konstitusi sebagai wakil masyarakat. 

Dengan adanya sinergisitas antara LKM, aparat desa, masyarakat sipil maka proses pembangunan akan seimbang melalui berbagai aspek pendanaan dan pelaku tidak hanya membebankan pada pemerintah, masyarakat, tapi juga bisa meminta itikad baik dari perusahaan dengan “memaksanya” untuk bermitra karena itu menjadi kewajibannya. 

Ditulis Oleh:
Purna Irawan, S.Sos
Fasilitator Sosial TF-30 Korkot 5 Ogan Komering Ilir (OKI)
P2KKP OC-02 Provinsi Sumatera Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sponsor

Sponsor